Psikologi Belajar

Rabu, Juni 15, 2011


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Belajar

Belajar meliputi tidak hanya mata pelajaran, tetapi juga penguasaan, kebiasaan, persepsi, kesenangan, minta, penyesuaian sosial, bermacam-macam keterampilan dan cita-cita. Belajar mengandung pengertian terjadi perubahaan dari persepsi dan perilaku, termasuk juga perbaikan perilaku, misal pemuasan kebutuhan masyarakat dan pribadi secara lebih lengkap.


Tidak semua perubahaan perilaku berarti belajar. Orang yang tangannya patah karena kecelakaan mengubah tingkah lakunya, tetapi kehilangan tangan itu sendiri bukan lah belajar. Mungkin orang itu melakukan perbuatan belajar untuk mengimbangi tangannya yang hilang itu dengan memperlajari keterampilan-keterampilan baru.

Berdasarkan penjelasan di atas Hilgard dan Brower mendefinisikan belajar sebagai perubahaan dalam perbuatan melalui aktifitas, praktek dan pengalaman.

Selanjutnya menurut Gage (1984), belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses di mana suatu organisme berubah perilakunya dan sebagai akibat pengalaman.
Lester.D. Crow and Alice Crow mendefinisikan : Learning is the acuquisition of habits, knowledge and attitudes. Belajar adalah upaya untuk memperoleh kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan dan sikap-sikap.
Hudgins Cs. (1982) berpendapat Hakekat belajar secara tradisional belajar dapat didefinisikan sebagai suatu perubahan dalam tingkah laku, yang mengakibatkan adanya pengalaman .
Jung , (1968) mendefinisikan bahwa belajar adalah suatu proses dimana tingkah laku dari suatu organisme dimodifikasi oleh pengalaman.
Ngalim Purwanto, (1992 : 84) mengemukakan belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku, yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman.
Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah segenap rangkaian kegiatan atau aktivitas yang dilakukan secara sadar oleh seseorang dan mengakibatkan perubahan dalam dirinya berupa penambahan pengetahuan atau kemahiran berdasarkan alat indera dan pengalamannya. Oleh sebab itu apabila setelah belajar peserta didik tidak ada perubahan tingkah laku yang positif dalam arti tidak memiliki kecakapan baru serta wawasan pengetahuannya tidak bertambah maka dapat dikatakan bahwa belajarnya belum sempurna.
1.      Perubahan Perilaku
Bahwa belajar menyangkut perubahaan dalam suatu organisme, berarti belajar membutuhkan waktu. Untuk mengukur belajar, kita membandingkan cara organisme itu berperilaku pada waktu 1 dengan cara organisme itu berperilaku pada waktu 2 dalam suasana yang serupa.

2.      Perilaku Terbuka
Belajar dapat kita simpulkan, terjadi bila perilaku hewan-hewan, termasuk manusia, berubah. Perilaku menyangkut aksi atau tindakan, aksi-aksi otot atau aksi-aksi kelenjer, dan gabungan dari kedua macam aksi itu, yang menjadi perhatian utama ialah perilaku verbal dari manusia, sebab dari tindakan-tindakan menulis dan berbicara manusia, dapat kita tentukan apakah perubahan-perubahan dalam perilaku telah terjadi.
3.      Belajar dan Pengalaman
Komponen terakhir dalam defenisi belajar ialah “sebagai suatu hasil pengalaman”. Istilah pengalaman membatasi macam-macam perubahan perilaku yang dapat dianggap mewakili belajar. Batasan ini penting dan sulit untuk mendefinisikannya. Biasanya batasan ini dilakukan dengan memperhatikan penyebab-penyebab perubahan dalam perilaku yang tidak dapat dianggap sebagai hasil pengamatan.
4.      Belajar dan Kematangan
Perubahan perilaku yang disebabkan oleh kematangan terjadi, bila perilaku itu disebabkan oleh perubahan-perubahan yang berlangsung dalam proses pertumbuhan dan pengembangan dari organisme-organisme secara fisiologis.
Dari defenisi-defenisi diatas dan defenisi-defenisi yang lain, maka kita dapatkan hal-hal pokok sebagai berikut:
a)      Bahwa belajar itu membawa perubahan (dalam arti behavioral changes, actual maupun potensial.
b)      Bahwa perubahan itu pada pokoknya adalah didapatkannya kecakapan baru (dalam arti Kenntnis dan Fertingket)
c)      Bahwa perubahan itu terjadi karena usaha (dengan sengaja).

B.     Tujuan Pembelajaran
Salah satu sumbangan terbesar dari aliran psikologi behaviorisme terhadap pembelajaran bahwa pembelajaran seyogyanya memiliki tujuan. Gagasan perlunya tujuan dalam pembelajaran pertama kali dikemukakan oleh B.F. Skinner pada tahun 1950. Kemudian diikuti oleh Robert Mager pada tahun 1962 yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul Preparing Instruction Objective. Sejak pada tahun 1970 hingga sekarang penerapannya semakin meluas  hampir  di seluruh lembaga pendidikan di dunia, termasuk di Indonesia.
Merujuk pada tulisan Hamzah B. Uno (2008) berikut ini dikemukakan beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli. Robert F. Mager (1962) mengemukakan bahwa tujuan pembelajaran adalah perilaku yang hendak dicapai atau yang dapat dikerjakan oleh siswa pada kondisi dan tingkat kompetensi tertentu.  Kemp (1977) dan David E. Kapel (1981) menyebutkan bahwa tujuan pembelajaran suatu pernyataan yang spesifik yang dinyatakan dalam perilaku atau penampilan yang diwujudkan dalam bentuk tulisan untuk menggambarkan hasil belajar yang diharapkan. Henry Ellington (1984) bahwa tujuan pembelajaran adalah pernyataan yang diharapkan dapat dicapai sebagai hasil belajar. Sementara itu, Oemar Hamalik (2005) menyebutkan bahwa tujuan pembelajaran adalah suatu deskripsi mengenai tingkah laku yang diharapkan tercapai oleh siswa setelah berlangsung pembelajaran .
Meski para ahli memberikan rumusan tujuan pembelajaran yang beragam, tetapi semuanya menunjuk pada esensi yang sama, bahwa : (1) tujuan pembelajaran adalah tercapainya perubahan perilaku atau kompetensi pada siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran; (2) tujuan dirumuskan dalam bentuk pernyataan atau deskripsi yang spesifik.  Yang menarik untuk digarisbawahi  yaitu dari pemikiran Kemp dan David E. Kapel bahwa perumusan tujuan pembelajaran harus diwujudkan dalam bentuk tertulis. Hal ini mengandung implikasi bahwa setiap perencanaan pembelajaran seyogyanya dibuat secara tertulis (written plan).
Upaya merumuskan tujuan pembelajaran dapat memberikan manfaat tertentu, baik bagi guru maupun siswa. Nana Syaodih Sukmadinata (2002) mengidentifikasi 4 (empat) manfaat dari tujuan pembelajaran, yaitu: (1) memudahkan dalam mengkomunikasikan maksud kegiatan belajar mengajar kepada siswa, sehingga siswa dapat melakukan perbuatan belajarnya secara  lebih mandiri; (2) memudahkan guru memilih dan menyusun bahan ajar; (3) membantu memudahkan guru menentukan kegiatan belajar dan media pembelajaran; (4) memudahkan guru mengadakan penilaian.
Dalam Permendiknas RI No. 52 Tahun 2008 tentang Standar Proses disebutkan bahwa tujuan pembelajaran memberikan petunjuk untuk memilih isi mata pelajaran, menata urutan topik-topik, mengalokasikan waktu, petunjuk dalam memilih alat-alat bantu pengajaran dan prosedur pengajaran, serta menyediakan ukuran (standar) untuk mengukur prestasi belajar siswa.
C.    Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belajar
Belajar sebagai suatu proses atau aktifitas dipengaruhi oleh beberapa hal dan faktor-faktor. Secara garis besar dapat diklarifikasikan dalam dua hal;
a)      Faktor-faktor yang berasal dari luar diri pelajar (Faktor Eksternal), diklarifikasikan menjadi dua bagian, yaitu:
·         Faktor-faktor nonsosial, dan
·         Faktor-faktor sosial
b)      Faktor-faktor yang berasala dari dalam diri si pelajar, juga diklarifikasikan menjadi dua bagian, yaitu:
·         Faktor-faktor fisiologis, dan
·         Faktor-faktor psikologis
1.      Faktor-faktor nonsosial dalam belajar
     Kelompok faktor-faktor ini juga terdiri dari beberapa contoh, misalnya: keadaan udara, suhu cuaca, waktu (pagi, atau siang, ataupun malam), tempat (letaknya, pergedungannya), alat-alat yang dipakai untuk belajar (seperti alat tulis-menulis, buku-buku, alat-alat peraga, dan alat-alat belajar lainnya).
           Semua faktor yang telah disebutkan di atas itu, dan juga faktor-faktor lainya yang belum dipaparkan harus diatus sedemikian rupa, sehingga dapat membantu (menguntungkan) proses pembelajaran secara maksimal. Letak sekolah atau tempat belajar harus memenuhi syarat-syarat seperti tempat yang tidak terlalu dekat kepada kebisingan atau jalan ramai, lalu bangunan itu harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam ilmu kesehatan sekolah.


2.      Faktor-faktor sosial dalam belajar
Faktor sosial disini adalah faktor manusia (sesama manusia). Kehadiran orang atau orang lain pada waktu seseorang dalam belajar, sangat mengganggu proses belajar seseorang; misal kalau satu kelas murid sedang mengerjakan ujian, lalu terdengar banyak anak-anak lain bercakap-cakap disamping kelas; atau seseorang sedang belajar di kamar, satu atau dua orang hilir mudik ke luar masuk kamar belajar.  Faktor-faktor ini pada umumnya mengganggu proses belajar dan prestasi-prestasi belajar , biasanya  faktor-faktor tersebut mengganggu kosentrasi, sehingga perhatian tidak dapat ditujukan kepada hal yang sedang dipelajari atau aktifitas dalam belajar.
3.      Faktor-faktor fisiologi dalam belajar
Faktor-faktor fisiologi ini dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu;
a)      Tonus jasmani pada umumnya, dan
b)      Keadaan fungsi-fungsi fisiologi tertentu.
a)      Keadaan tonus jasmani pada umumnya
(1)   Nutrisi harus cukup karena kekurangan kadar makanan ini akan mengakibatkan kurangnya tonus jasmani, yang pengaruhnya dapat berupa kelesuan, lekas mengantuk, lekas lelah, dan sebagainya.
(2)   Beberapa penyakit yang kronis sangat mengganggu belajar, seperti: pilek, influensa, sakit gigi dan batuk.
b)      Keadaan fungsi-fungsi jasmani tertentu terutama fungsi-fungsi pancaindra.
Orang mengenal dunia dan sekitarnya dan belajar dengan menggunakan panca indra. Berfungsinya pancaindra merupakan syarat dapat terlaksananya belajar dengan baik. Dalam sistem persekolahan dewasa ini, pancaindra (mata dan telinga) memegang peranan dalam proses belajar.

4.      Faktor-faktor psikologi dalam belajar
Arden N. Frandsen mengatakan bahwa hal yang mendorong seseorang untuk belajar adalah sebagai berikut:
a)      Adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas.
b)      Adanya sifat yang kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk selalu maju
c)      Adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru, dan teman-teman.
d)     Adanya keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan usaha yang baru, baik dengan koperasi maupun kompetisi.
e)      Adanya keinginnan untuk mendapatkan rasa aman bila menguasai pelajaran.
f)       Adanya ganjaran atau hukuman sebagai akhir dari pada belajar, (Fransen, 1961: 216)
Maslow (menurut Frandsen, 1961: 234) mengemukakan motif-motif untuk belajar itu ialah:
a)      Adanya kebutuhan fisik
b)      Adanya kebutuhan akan rasa aman, bebas dari kekhawatiran
c)      Adanya kebutuhan akan kecintaan dan penerimaan dalam hubungan dengan orang lain.
d)     Adanya kebutuhan untuk mendapat kehormatan dari masyarakat
e)      Sesuai dengan sifat untuk mengemukakan atau mengetengahkan diri.


D.    Tipologi Belajar
1.      Belajar Responden
Dalam belajar semacam ini, suatu respon dikeluarkan oleh suatu stimulus yang telah dikenal. Beberapa contoh belajar responden adalah hasil-hasil penelitian yang dilakukan ahli psikologi  Rusia yang terkenal Ivan Pavlov.
Seekor anjing yang diberi serbuk daging dan sambil makan keluar air liurnya. Serbuk daging disebut stimulus tidak terkondisi (unconditioned stimulus, US), dan tindakan mengeluarkan air liur disebut respon tidak-terkondisi (uncondition respone, UR). Terjadinya respons terhadap penyajian stimulus ini tidak merupakan belajar, tetapi terjadi secara instinktif.
Sekarang lampu kita hidupkan ditempat anjing itu. Menghidupkan lampu mempunyai efek yang minimal terhadap air liurnya anjing itu. Kemudian kita nyalakan lampu tepat sebelum memberikan serbuk daging itu pada anjing (US). Jika hal ini kita lakukan beberapa kali, dan kemudian, pada suatu percobaan, tampa memberikan serbuk daging, kita lihat timbulnya respon mengeluarkan air liur. Cahaya, yang sebelumnya merupakan stimulus yang netral,  sekarang menjadi stimulus terkondisi (conditioned response, CR).
Dalam situasi yang dikemukan di atas, perilaku berubah sebagai hasil suatu pengalaman. Jadi situasi ini sesuai dengan defenisi belajar yang sederhana yang telah dikemukakan terdahulu. Sekarang mari kita pindah dari anjing ke manusia, dan kita gunakan model ini dalam bentuk yang lebih umum. Kita dapat mengangap hubungan antara stimulus terkondisi dengan respon beroperasi, bila suatu stimulus (US) menimbulkan reaksi emosional (UR), seperti takut, marah, gembira, senang, dan bahagia. Memasangkan stimulus terkondisi, yaitu suatu stimulus netral sebelumnya, dengan stimulus tak terkondisi menghasilkan timbulnya suatu respon terkondisi (seperti takut atau gembira) terhadap stimulus terkondisi tersebut.
Contoh: Maya untuk pertama kalinya masuk sekolah. Ibu gurunya menerima dengan senyuman dan pujian. Belum lagi dua minggu berlalu Maya minta diantarkan ke sekolah lebih pagi, sambil berkata pada ibunya, bahwa ia akan menjadi guru bila sudah besar.
Contoh diatas melukiskan terjadinya belajar responden, senyum dan pujian guru dapat ditaksirkan sebagai stimulus tak terkondisi. Tindakan guru ini menimbulkan dalam diri maya suatu perasaan yang menyenangkan, yang dapat ditafsirkan sebagai stimulus tak terkondisi. Guru dan sekolah yang sebelumnya itu netral, yaitu stimulus terkondisi, terasosiasi dengan stimulus tak-terkondisi dan segera menimbulkan perasaan yang menyenangkan yang sama.
2.      Belajar Kontiguitas
Pemasangan stimulus terkondisi merupakan suatu syarat untuk belajar responden, beberapa teoriwan belajar mengemukakan, bahwa pemasangan kejadian-kejadian sederhana itu, kejadian-kejadian apapun, dapat menghasilkan belajar. Tidak diperlukan hubungan stimulus tak-terkondisi respons. Asosiasi dekat (contiguous) sederhana antara suatu stimulus dan suatu respon dapat menghasilkan suatu perubahan perilaku. Kekuatan belajar kontiguaitas sederhana dapat dilihat bila seseorang memberikan respons terhadapat pernyataan-pernyataan belum lengkap seperti dibawah ini:
“Sembilan kali lima sama dengan … atau Gunung Semeru ialah gunung tertinggi di…”
Dengan mengisikan kata-kata empat puluh lima dan Jawa Timur, ditunjukkan bahwa kita dapat belajar sesuatu karena peristiwa-peristiwa atau stimulus-stimulus terjadi berdekatan pada waktu yang sama. Kadang-kadang diperlukan pengulangan dari peristiwa-peristiwa itu, tetapi ada kalanya belajar terjadi tanpa diulang. Jadi tidak perlu kita menganggap hubungan-hubungan stimulus tak-terkondisi-respons. Secara sederhanya dapat dikatakan, bahwa manusia dapat berubah sebagai hasil dari mengalami peristiwa-peristiwa yang berpasangan.
3.      Belajar Operant
Belajar sebagai akibat reinforsemen merupakan bentuk belajar lain yang banyak diterapkan dalam teknologi modifikasi perilaku. Bentuk belajar ini disebut terkondisi opreant, sebab perilaku yang diinginkan tinbul secara spontan, tanpa dikeluarkan secara instrinsik oleh stimulus apapun, waktu organism “beroperasi”terhadap lingkungan. Berbeda dengan belajar reponden, perilaku operant tidak “dikeluarkan” (elicited) tetapi “dipancarkan” (emited); dan kosekuensi dari perilaku itu bagi organism merupakan variabel yang penting dalam belajar operant. Perilaku akan akan diperkuat, bila akibatnya berupa suatu peristiwa tereinfors. Perilaku yang mengalami reinforsemen mempunyai kecendrungan untuk meningkat dalam hal frekuensi, magnitude, atau probabilitas terjadinya.
Karena peristiwa-peristiwa yang mengalami reinforsemen dapat menghasilkan efek-efek yang begitu penting, perlu kita bertanya, apakah reinforser itu? Suatu reinforsor ialah setiap stimulus yang meningkatkan kekuatan suatu perilaku (Gage, 1984). Menurut  Slavin (1988) reindorser didefinisikan sebagai suatu frekuensi yang memperkuat (berarti meningkatkan frekuensi) perilaki-perilaku.
Belajar operant ditunjukkan dalam perilaku berbagai hewan dan tikus menekan pengungkit (lever), burung merpati mematuk kunci kuda menganggukkan kepalanya. Pada dasarnya, setiap perilaku operant dapat ditimbulkan kerap kali dengan memberikan reinforsemen segera setelah timbulnnya perilaku itu.
Dalam manusia, berlaku hal yang sama. Berbagai perilaku manusia dapat ditimbulkan berulang kali dengan adanya reinforsemen, segera setelah ada respons. Respons itu dapat berupa: suatu pernyataan suatu gerakan, suatu tindakan. Misalnya, respons itu dapat berupa menjawab pertanyaan guru dengan sukarela, atau dapat pula respons itu sulit untuk diketahui, seperti bila seorang siswa duduk diam saja, dan kelihatannya tidak berbuat apa-apa.
Bila respons berupa sukarela menjawab pertanyaan guru, maka reinforsemen terhadap respons itu mungkin dalam bentuk “ diberi giliran oleh gutu”. Bila respons itu berupa jawaban itu sendiri terhadap pertanyaan, maka reinforser mungkin berupa ucapan guru: “betul”, atau “bagus sekali”, atau bila respons itu berupa duduk diam dan tidak berbuat apa-apa, salah satu reinforser yang menyebabkan perilaku itu akan terjadi lagi, ialah suatu tanda persetujuan guru, apakah itu berupa kata-kata atau senyuman.
4.      Belajar Observasional
Belajar observasional dilakukan dengan pengamatan-pengamatan perilaku, sehingga mengubah perilaku seseorang. Perubahan perilakulah yang dinamakan belajar. Konsep belajar observasional memperlihatkan, bahwa orang dapat belajar dengan mengamati orang lain melakukan apa yang akan dipelajarinya. Karena itu perlu diperhatikan, agar anak-anak lebih banyak diberi kesempatan untuk mengamati model-model perilaku yang baik atau yang kita inginkan, dan mengurangi kesempatan-kesempatan untuk melihat perilaku-perilaku yang tidak baik.
5.      Belajar kognitif
Beberapa ahli psikologi dan ahli pendidikan berpendapat, bahwa konsepsi-konsepsi tentang belajar yang telah dikenal, tidak satupun yang mempersoalkan proses-proses kognitif yang terjadi selama belajar, proses-proses semacam itu menyangkut “insight” atau berfikir dan “reasoning”, atau menggunakan logika deduktif dan induktif. Walaupun konsepsi-konsepsi lain tentang belajar dapat diterapkan pada hubungan-hubungan stimulus dan respons yang arbitrar dan tak-logis, para ahli psikologi dan pendidikan ini berpendapat, bahwa lebih banyak dibutuhkan untuk menjelaskan belajar tentang hubungan-hubungan yang logis, rasional atau nonarbitrar.
Tetapi menurut pendapat para ahli psikologi kognitif, sesuatu yang penting tidak dapat ditemukan dari konsepsi “operant-conditioning” ini, yaitu apa sebetulnya yang terjadi. Hal ini pun tidak dapat ditemukan bila kita coba menganggap proses belajar ini sebagai contoh dari belajar responden, belajar kontiguitas, atau belajar observasional. Semua pendekatan-pendekatan belajar perilaku tampaknya tidak mengindahkan persepsi siswa, insait (insight) pada, kognisi dari hubungan-hubungan esensial antara unsur-unsur dalam situasi ini.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Tiga hal pokok dalam belajar: pertama, bahwa belajar itu membawanperubahan (dalam arti behavioral changes, actual maupun potensial. Kedua, bahwa perubahan itu pada pokoknya adalah didapatkannya kecakapan baru (dalam arti Kenntnis dan Fertingket), ketiga, bahwa perubahan itu terjadi karena usaha (dengan sengaja).
Tujuan pembelajaran adalah tercapainya perubahan perilaku atau kompetensi pada siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran dan  tujuan dirumuskan dalam bentuk pernyataan atau deskripsi yang spesifik.  Lima tipologi belajar, belajar responden, belajar kontiguitas, belajar operant, belajar observasional, dan belajar kognitif.
B.     Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis yakin masih terdapat banyak kekurangan, karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran dari pembaca. Agar penulis mengetahui segala kekurangan dan kesalahan demi penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Hamalik, Oemar. Psikologi Belajar dan Mengajar.1990. Sinar Baru ALGENSINDO: Bandung.
Suryabrata, Sumadi. Psikologi Pendidikan. 2004. Rajawali Pers: Yohyakarta.
Dahar, Ratna Willis. Teori Belajar. 1988. Usaha Nasional: Jakarta
http://akhmadsudrajat.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.