Tak Hanya Tampilan
Oleh: Qalbi Salim
Ada orang yang merasa bangga ketika keluar dari restoran yang mahal. Tak peduli uang 300 ribu rupiah habis dalam waktu yang singkat, yang penting keinginan tersalurkan, kepuasanpun didapat. Rasa percaya diri menjadi meningkat. Tampilan menjadi hal yang diperhatikan. Kebanyakan pelaku orang-orang berpenghasilan tinggi.
Ada orang yang merasa bangga ketika keluar dari restoran yang mahal. Tak peduli uang 300 ribu rupiah habis dalam waktu yang singkat, yang penting keinginan tersalurkan, kepuasanpun didapat. Rasa percaya diri menjadi meningkat. Tampilan menjadi hal yang diperhatikan. Kebanyakan pelaku orang-orang berpenghasilan tinggi.
Makan direstoran mahal, sebuah kebutuhan atau keinginan? Hati-hati dalam memaknai dua kata ini. Kebutuhan adalah sesuatu yang diperlukan sehingga dapat mencapai
kesejahteraan. jika ada dari kebutuan tersebut yang tidak terpenuhi, maka manusia akan merasa tidak sejahtera atau kurang sejahtera. Dapat dikatakan, kebutuhan sesuatu yang harus ada. Misalnya manusia butuh makan, manusia butuh pakaian dan manusia butuh perumahan.
Keinginan adalah sesuatu tambahan dari kebutuhan, dengan harapan dapat terpenuhi. Sehingga manusia tersebut merasa lebih puas. Namun, jika keinginan tersebut tidak terpenuhi sesungguhnya kesejahteraan tidak akan berkurang.
Nah, muncul sebuah pertanyaan. Kenapa manusia harus makan? Makan untuk menghilangkan rasa lapar atau untuk mendapatkan kepuasan? Kembali kepersoalan orang yang makan di restoran mahal. Jika tujuan makan untuk menghilangkan rasa lapar, tentunya tidak perlu ke restoran yang mahal. Cukup makan di rumah sendiri atau di rumah makan yang sederhana. Namun, jika tujuannya untuk mendapatkan suasana yang baru dan ingin merasakan makanan yang lebih enak. Jelas itu hanya sebuah keinginan, bukan kebutuhan.
Melakukan sesuatu berdasarkan keinginan, tentu berdampak buruk. Bisa-bisa menjadi orang yang boros, bisa juga menjadi orang yang memaksanakan diri sendiri, dalam memperoleh sesuatu. Asalkan keinginan tercapai, bermacam-macam cara akan dilakukan.
Misalkan seorang calon anggota dewan, calon wali kota dan calon gubernur. Penampilan menjadi prioritas, disaat berkompanye. Gelar professor, doktor, master tercamtun di baliho-baliho kompanye. Itu menjadi bukti, kalau salah seorang calon telah berkecimpung dalam dunia pendidikan. Ada juga yang menambah nama dengan gelar “datuak, sutan dan malin” itu bukti kalau calon asli Ranah Minang.
Gelar profesor, doktor, master, datuak, malin, sutan dan malin, orientasi hanya sebatas tampilan. Apa hanya sekedar orientasi tampilan? Tentu tidak. Kenyataannya, ada sebagian besar gelar yang diperoleh dengan cara yang tidak baik. Seperti membeli gelar. Memperoleh sesuatu dengan cara yang mudah, saat ini sudah biasa. Banyak uang urusan aman. Kelihatan manusia lebih menyukai sesuatu yang instan atau memperoleh sesuatu dengan cara yang mudah. Asal gelar profesor, doktor, master, datuak, malin dan sutan tercantum di kartu nama.
Contoh kasus lain, mandeknya golongan IV A menjadi IV B. Syarat naik pangkat golongan IV A menuju IV B yakni membuat karya tulis ilmiah. Berarti pagawai-pegawai golongan IV A terkendala dalam membuat karya tulis ilmiah, atau tidak mampu membuat karya tulis ilmiah. Padahal untuk menyelesaikan studi di kampus harus menyelesaikan skripsi, skripsi termasuk karya tulis ilmiah. Proses studi golongan IV A disaat menjadi mahasiswa dulunya perlu dipertanyakan? Gelar sarjana yang tertera dibelakang nama, hanya sekedar tampilan atau melambangkan kemampuan? Kalau kemampuan tentu, membuat sebuah karya tulis tidak menjadi persoalan.
Melakukan sesuatu hanya berorientasi tampilan, berdampak buruk terhadap masa depan. Calon anggota dewan, wali kota dan gubernur yang telah terpilih dalam melaksanakan tugasnya, tidak akan dijumpai jauh dari harapkan masyarakat. Masyarakat tak akan kecewa, krisis kepercayaan tak akan ada, mahasiswa tak akan bungkam, demo besar-besaran akan dapat dihindari. Seperti yang dilakukan tukang becak, pedagang kaki lima, guru honorer hingga mahasiswa.
Membuat karya tulis ilmiah menjadi kendala bagi guru, tentu guru tidak bisa mengajar dengan baik, seperti yang diharapkan. Keberhasilan siswa dilihat dari kemampuan guru, mulai dari cara mengajar, penguasaan materi dan pengalaman mengajar.
Ini disebabkan karena sikap manusia yang tidak bersungguh-sungguh, dalam melakukan sesuatu. Motivasi untuk menjadi lebih baik masih kurang. Nah, melakukan sesuatu yang berorientasi tampilan, berdampak buruk terhadap kehidupan. Sebaiknya dalam melakukan sesuatu, berorientasilah untuk meningkatkan pengetahuan dan demi sebuah amal. Tapi sayang, budaya kita orientasinnya agar tujuan tercapai, bukan memperhatikan proses yang baik untuk mencapai tujuan. Seperti alasan orang tua mengsekolahkan anaknya, karena ingin si anak bisa seperti orang lain. Tidak mempedulikan apakah anak suka dengan keinginan orang tua?
1 komentar:
Assalamu'alaikum.
Ada "terima kasih award" untuk Qalbi Salim di http://lokerklasik.blogspot.com/2011/03/award-pertama.html
Silakan di cek...
:)
Posting Komentar