Sisi Lain Yusril yang Jarang Terekspose

Jumat, September 24, 2010

Sumber: Kompasiana.com, oleh Herman Hasyim
Banyak orang yang kagum pada kemampuan retorika Yusril Ihza Mahendra. Namun sedikit yang tahu bahwa Yusril pernah menjadi speech writer Presiden Soeharto. Dia yang menulis naskah pidato pengunduran diri Soeharto sebagai Presiden RI pada 21 Mei 1998. Dia pula yang berada di balik tata cara serah terima jabatan presiden dari Soeharto kepada Habibie.
Dikerubuti puluhan wartawan yang menodongkan mikrofon, Rabu (22/9) sore di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Yusril memasang muka berseri-seri. Mantan Menteri Hukum dan HAM ini dengan antusias menjawab pertanyaan demi pertanyaan seputar gugatannya yang baru saja dimenangkan MK.
“Mulai hari ini Hendarman Supandji bukan lagi Jaksa Agung. Dia tidak dapat bertindak yang mengatasnamakan Jaksa Agung sesuai putusan MK,” kata Yusril, sebagaimana dilansir banyak media.

Lembaga negara yang dipimpin Mahfud MD itu memang mengabulkan sebagian gugatan Yusril mengenai pengujian masa jabatan Jaksa Agung dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Dalam amar putusannya, majelis hakim MK menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan adalah konstitusional bersyarat (conditionally constitutional).


MK menyatakan bahwa seharusnya masa jabatan Jaksa Agung sesuai masa jabatan Presiden. Tapi, MK juga menegaskan, pengangkatan Jaksa Agung sekarang tidak dapat dikatakan illegal. Alasannya, pada saat menetapkan jabatan Jaksa Agung yang sekarang, tidak ada ketentuan dalam UU yang mengharuskan Presiden menetapkan masa jabatan Jaksa Agung sesuai masa jabatan Presiden, terlepas diposisikan sebagai pejabat di dalam kabinet atau di luar kabinet.

Setelah putusan itu dibacakan dan disiarkan secara luas, sebagian orang langsung menyerukan supaya Jaksa Agung Hendarman Supandji segera dicopot karena jabatannya illegal. Bahkan ada yang bilang, putusan MK yang memenangkan Yusril ini telah menampar muka Presiden SBY.

Ah, apapun itu, kemenangan Yusril memang menarik. Terlepas dari sangkaan yang begitu nyata bahwa gugatan ini dia layangkan sebagai upaya berkelit dari proses hukum yang sedang membelitnya, Yusril tampak sangat unggul dalam beretorika. Bahkan ahli-ahli Hukum Tata Negara dibuat tak berkutik.

Sejatinya, kemampuan Yusril dalam beretorika, khususnya dalam menyusun argumen di bidang hukum tata negara, sudah tampak jelas sejak jaman Orde Baru. Hal ini tergambar di buku berjudul “Hari-hari Terpanjang Menjelang Mundurnya Presiden Soeharto” yang ditulis wartawan senior Kompas, James Luhulima.

Pada Mei 1998, ketika angin reformasi berhembus kencang, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH, menjadi Staf Khusus Sekretaris Kabinet. Dia mendampingi Mensesneg Saadilah Mursjid saat rapat pembentukan Komite Reformasi, yaitu sebuah komite yang dipersiapkan Soeharto untuk melakukan reformasi tanpa suksesi. Komite ini direncanakan akan diisi 45 orang dari berbagai kalangan, termasuk mereka yang sering mengkritik pemerintahan Orde Baru, baik dari kalangan sipil maupun militer. Namun, pembentukan komite ini gagal, lantaran orang-orang yang dipilih ternyata menolak. Kegagalan juga terjadi saat Soeharto hendak menyusun Kabinet Reformasi, yaitu Kabinet Pembangunan VII yang di-reshuffle.

Kegagalan pembentukan Komite Reformasi dan Kabinet Reformasi berdampak besar. Soeharto, yang merasa sudah tidak mendapat dukungan dari orang-orang terdekatnya, memutuskan untuk segera mengundurkan diri. Soeharto kemudian memerintahkan Mensesneg Saadillah Mursjid mempersiapkan proses pengunduran dirinya sebagai presiden secara konstitusional. Mensesneg lalu menunjuk Yusril, yang waktu itu bertugas sebagai speech writer Presiden Soeharto, untuk mempersiapkan segala sesuatunya.

Tentang hal ini, Yusril bercerita:

“Malam itu suasananya sudah demikian genting dan waktunya juga sangat mendesak. Saya hanya mempunyai waktu kurang dari 12 jam untuk mencari cara agar Presiden Soeharto dapat mundur secara konstitusional, serta tidak menyisakan maslaah di masa depan nantinya.”

Kamis pagi, 21 Mei 1998 di Istana Merdeka, mengenakan pakaian setelan sipil warna gelap dan

peci hitam, Soeharto membaca naskah pengunduran diri yang dipersiapkan Yusril. Secara tragis, Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Presiden RI. Soeharto juga mengucapkan terima kasih dan minta maaf kepada rakyat Indonesia.

Mengenai siapa yang akan menggantikan kedudukannya dan bagaimana mekanismenya, Soeharto menyatakan:

“Sesuai dengan Pasal 8 UUD 1945, maka Wakil Presiden RI Prof. Dr. Ing. BJ. Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden/Mandataris MPR 1998-2003.”

“Oleh karena keadaan tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pengucapan sumpah di hadapan DPR, maka untuk menghindari kekosongan pimpinan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, kiranya saudara Wakil Presiden (B.J. Habibie) sekarang juga akan melaksanakan pengucapan sumpah jabatan presiden di hadapan Mahkamah Agung Republik Indonesia.”

Dua penggalan naskah pidato itu ternyata menyulut debat serius di kalangan pakar hukum tata negara. Sebagian pakar menyatakan bahwa proses pengunduran diri itu inkonstitusional. Prof. Dr. Loebby Loqman, SH dan Prof. Dr. M. Dimyati Hartono, SH di antara yang berseberangan dengan Yusril.

Mereka mengatakan, Presiden Soeharto harus mempertanggungjawabkan atau setidaknya memberikan penjelasan mengapa tidak menuntaskan jabatannya hingga tahun 2003 di hadapan MPR. Sebab, yang mengangat Soeharto sebagai presiden adalah MPR.

Selain itu, menurut mereka, pengucapan sumpah Habibie sebagai Presiden baru tidak bisa dilakukan di istana Negara, tetap harus di Gedung DPR/MPR.

Yusril sendiri bersikukuh, proses pengunduran diri Presiden Soeharto dan penyerahan kekuasaan kepada Wakil Presiden B.J. Habibie itu sah dan berlangsung secara konstitusional. Dia menegaskan, pengunduran diri Soeharto yang diikuti pengucapan sumpah Habibie sebagai penggantinya sesuai ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan ketetapan MPR No. VII/MPR/1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden berhalangan.

Menurut Yusril, keputusan Soeharto untuk berhenti itu adalah tindakan sepihak, dan sah dilihat dari sudut hukum tata Negara. Sebab, soeharto bukan minta untuk berhenti, dan juga bukan diminta pertanggungjawaban untuk berhenti. Apa yang dilakukan Soeharto adalah adalah menyatakan (declare) berhenti, karena itu tidak perlu ada penerimaan atau penolakan, atau sidang MPR untuk itu.

Sebagai orang yang berada di balik tata cara serah terima jabatan presiden dari Soeharto kepada Habibie, Yusril mengaku sangat terganggu atas banyaknya kritik yang ditujukan padanya. Tentang hal ini, dia mengatakan:

“Setelah segala sesuatunya berlalu (post factum), orang masih bisa berteori dan berkomentar macam-macam. Itu sah-sah saja. Tetapi hendaknya diingat, saya pada waktu itu kan bekerja di bawah tekanan yang sangat besar.”

Yusril menambahkan, apa yang dihasilkannya itu adalah hasil maksimal yang bisa dipikirkannya pada saat itu. Dia terpaksa melek semalam suntuk untuk mempersiapkan naskah pidato pengunduran diri Presiden Soeharto. Bahkan, dia mengaku sempat mendapatkan suntikan vitamin dari dokter kepresidenan agar tidak jatuh sakit karena kelelahan.

Karena itu, Yusril sangat kesal saat hasil kerjanya dikritik banyak orang. Dia mengatakan:

“Mereka kan bisa mengkritik dan berkomentar macam-macam karena tidak merasakan tekanannya. Coba kalau mereka berada di tempat saya. Saya mau lihat apakah mereka akan mengeluarkan kritikan atau komentar seperti itu.”

Begitulah Yusril. Begitulah cara dia menanggapi kritik. Waktu telah membuktikan, setidaknya selama 12 tahun sejak reformasi 1998 bergulir, orang-orang tidak mengutak-atik lagi naskah pidato yang bersejarah itu. Masalah inkonstitusionalitas pengunduran diri Soeharto dan naiknya Habibie sebagai Presiden RI juga sudah dianggap ‘selesai’.

Dulu Yusril handal membungkam kritik. Sebaliknya, sekarang dia lihai melancarkan kritik–dengan Jaksa Agung dan Presiden sebagai sasaran kritiknya. Dua-duanya menunjukkan betapa hebatnya pengetahuan dan kemampuan Yusril di bidang Hukum Tata Negara.

Namun, bila kemampuan itu hanya dipergunakan untuk kepentingan pribadi, lantas di mana pertanggung jawaban moral Yusril selaku akademisi dan warga negara yang sama kedudukannya di hadapan hukum?

Menteng, 23 September 2010

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.