Mata Terakhir
Ilustrasi (Sumber: https://pbs.twimg.com) |
Mata itu, lagi-lagi mata itu yang
kuingat. Tatapannya tajam, mengarah dan dalam, serta menyejukkan. Tatapan yang
memperlihatkan ketulusan. Ketulusan bahwa kauberusaha untuk hadir di sini.
Tatapanmu begitu tenang, hingga mampu menenangkan diriku. Menenangkan diriku,
bahwa yang kita butuh hanya satu, satu kenyamanan. Ya, semuanya berawal dari
tatapan, tatapan yang menggetarkan hati ini, hatiku bergetar dan berdesir oleh
ulahmu.
Bahagian matamu yang hitam,
dikelilingi warna putih bersih. Seputih salju di saat musim dingin, sehingga
tak terlihat noda hitam olehku. Seandainya aku menatapmu lebih dekat. Tapi,
saat ini aku tidak berani melakukan itu. Matamu tidaklah sipit maupun bulat,
menurutku antara keduanya. Dengan bulu mata yang tipis dan panjang yang
melentik bagaikan aur, dihiasi dengan alis bagaikan semut berleret,
membuat matamu makin indah. Matamu memang indah, itu pendapatku, bagaimana
pendapatmu? Ah, kau hanya tersenyum kecil, ketika kutanya itu. Lupakan saja,
yang jelas kau telah berada di sini, semenjak bulan lalu aku mengenalmu.
“Matamu akan menjadi
ceritaku, mungkin juga akan menjadi ceritamu, aku berandai seperti itu.” Ah,
lagi-lagi kau tersenyum kecil. Mata yang indah, diiringi senyum kecil semakin
memperindah rona wajahmu. Itu pendapatku, bukan pendapatmu, aku tak ingin
kaumenanggapi itu.
***
Aku menjemput
perandaianku, matamu telah menjadi ceritaku. Ini malam, malam yang membuat aku
ingin menatap matamu. Ah, mata itu. Mata yang terlalu dalam menatapku, yang
mulai menembus mata hatiku. Tunggu, jangan tersenyum dulu, sebab matamu belum
sepenuhnya menembus hatiku, dan aku juga
tak ingin kautahu, bahwa aku telah menjemput perandaianku, biar kautahu,
seiringan berjalannya waktu. Ah, aku tersipu malu, kalau masih ingat matamu
itu.
Tapi, kau tak lagi di sini, kau
telah pergi, pergi untuk beberapa waktu. Ya … tentu aku menghampirimu sebelum
kaupergi. Lagi-lagi mata itu. Aku masih ingat itu, masih dengan mata dan
tatapan yang sama. Tapi, tatapanmu mengisyaratkan kerinduan untuk beberapa
waktu. Langkahmu berat, seberat bulan yang mulai enggan meninggalkan malam. Aku
masih ingat itu, ingat akan dirimu, tak hentinya menoleh kepadaku, karena kau
telah mulai melangkahkan kaki untuk meninggalkanku. Dari kejauhan aku masih
menyempatkan untuk melihatmu, hingga kauhilang ditelan keramaian itu. Rasanya
senyap, sunyi dan membisu. Aku tak menyadari itu, hanya aku yang ada di sini.
Kau ke mana? Ah, kenapa aku harus bertanya, padahal kau telah katakan, bahwa
kau akan pergi.
“Pergilah, kau memang harus pergi,
jemput impianmu.” Lagi-lagi kau hanya senyum kecil. Senyum kecil yang tak
berubah sedikit pun. Tapi aku tahu hatimu. Aku masih ingat itu, saat bersua denganmu
beberapa waktu yang lalu, cukup susah untuk kaulakukan itu. Karena kau masih
milik orang tuamu. Kau harus tahu, dan sangat harus tahu. Alasan yang telah
kaujelaskan, membuatku ingin lebih jauh mengenalmu.
Ah, kau mulai jadi impianku. Impian
untuk selalu menatap matamu. Banyak hal yang kauceritakan tentang dirimu.
Kaumenceritakan, bahwa kau bukan perempuan yang mudah merengek. Semuanya,
terlebih dahulu kaukerjakan sebisamu. Tidak meminta ini dan itu, dan kau tidak
terlalu menyandarkan beban hidup kepada kakak-kakakmu, walaupun di sana kakakmu
bukan satu. Ya, inilah kemandirian itu. Aku suka itu.
Lagi-lagi mata itu, mata yang
semakin lama menjelaskan dirimu, yang menjelaskan kau perempuan yang tak ingin
selalu diam, lalu membisu. Kau selalu bercerita ini-itu. Tentang keinginanmu
dan harapanmu. Keinginan untuk pergi jauh, karena keinginan dan harapanmu yang
aku tahu memang jauh. Ah, lagi-lagi pergi jauh. Aku mulai benci itu.
“Sampai kapan kau tak semakin
menjauh.” Lagi-lagi kau hanya tersenyum kecil padaku. Hanya tersenyum kecil.
Karena kau memang selalu tersenyum kecil. Saat aku berkata, apa pun itu tentang
dirimu. Ah, ternyata dalam pikiranku kau telah memiliki coretan hidup. Kapan
kau akan pergi, kapan kau akan kembali, hingga kapan kau akan mengakhiri
hidupmu. Lagi-lagi kaumembuatku pilu, di saat kaumengatakan, bahwa kauingin
mengakhiri hidupmu lebih dulu dariku. Lagi-lagi kauberniat pergi dariku.
Lagi-lagi pergi, lagi-lagi pergi, lalu mati.
Keindahan matamu, menjelaskan isi
hatimu. Ya, bagiku matamu indah. Itu pendapatku. Bagaimana pendapatmu? Kau tak
perlu jawab itu.
Matamu yang indah, dengan rona wajah yang bersih, menjelaskan siapa dirimu. Ah,
kau terlalu sering membasuh mukamu. Mungkin tiap waktu. Kau harus tahu, bahwa
aku suka itu. Hal ini membuatku terpesona padamu.
***
Ini malam, malam terindah dalam
hidupku. Lagi-lagi aku akan bersua denganmu, tapi esok hari. Kesempatan untuk
bersua itu, membuatku merancang mimpi tentangmu. Tentang apa yang akan aku
lakukan denganmu. Ah, lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum pilu. Membayangkan
matamu. Lagi-lagi mata itu, entah sampai kapan, tak hanya mata itu dalam
ingatanku.
Dirimu benar-benar memesonaku,
membuatku tak mampu dengan cepat masuk ke dalam dunia mimpi, padahal aku tak
sabar untuk menunggu pagi. Kenapa mataku tak bisa dipejamkan? Padahal aku harus
cepat terlelap, agar bumi ini melenyapkan malam, dan itu memang inginku.
Andaikan aku bisa melenyapkan malam ini, menuju pagi, tentu telah aku lakukan.
Tapi aku tak bisa. Hanya dengan memejamkan mata, lalu terlelap yang mampu
membuat bumi ini melenyapkan malam, dan itu akan aku lakukan. Benar-benar harus
aku lakukan.
Esoknya
Kau harus tahu, aku telah di sini, satu jam
yang lalu, aku bawakan makanan kesukaanmu. Aku mencoba mengingat kembali, bahwa
di tempat inilah kaupergi meninggalkanku. Tapi, sekarang kau telah kembali,
hatiku tersenyum dalam keramaian. Keramaian yang membuatmu belum terlihat
olehku. Mungkin setengah jam lagi, pikirku. Ya, memang setengah jam lagi,
karena telah setengah jam aku duduk di sini, menunggumu. Aku duduk di kejauhan,
jauh dari pintu tempatmu keluar nantinya. Aku tak ingin menunggumu di depan
pintu itu, karena tak ingin terlalu dekat menatap matamu. Biarkan saja mata
kita bertemu dari kejauhan, dan mulai mendekat, mendekat dan sudah dekat.
Ternyata kau telah berada di sampingku.
Lagi-lagi, kautersenyum
kecil. Senyum apa ini? pikirku. Setelah sekian lama tak bersua denganmu. Ah,
aku baru sadar, senyum kecil itulah dirimu, dirimu yang sejak pertama kali aku
kenal. Aku perhatikan wajahmu, masih wajah yang dulu. Masih sebersih saat
pertama kali aku berjumpa denganmu. Tiba-tiba aku mengerutkan dahi, kamu balas
dengan senyum kecilmu, yang mengisyaratkan, kalau kaubertanya padaku.
“Kenapa
pipi kirimu ada noda putih?”
“Ini
bukan noda.” Sekilas kaumeraba pipi kirimu, dan mengusapnya. Ternyata kautahu
itu, bahwa warna putih di pipimu karena bedak yang tidak merata kauoleskan
tadi. Ah, segitukah dirimu? pikirku. Apa semua perempuan seperti ini? Selalu
siap dengan penampilan terbaik saat bersua dengan seseorang. Sepertinya, iya.
Semua perempuan melakukannya, karena aku tahu setelah kaumelakukannya.
“Bawaanmu
cukup berat.”
“Iya, karena aku satu
bulan di sini,” sambil tersenyum kecil, yang memperlihatkan kelembutanmu.
Lagi-lagi aku menatap, menatap matamu terlalu dalam, kau hanya membalasnya
dengan senyum kecil. Kemudian kaududuk, di kursi kayu warna kecokelatan,
menghadap ke taman yang ada di tempat ini, dan kau tak mempermasalahkan kalau
harus berlama-lama di sini. Tanpa kaumenuju rumahmu terlebih dahulu.
Kau
banyak bercerita, bercerita tentang keadaan di sana, keseharianmu, kegiatanmu
dan lagi-lagi tak henti bercerita tentang keinginan dan harapanmu. Jangan
kaulanjutkan lagi ceritamu itu, kalau kau akan pergi. Aku tak ingin pertemuan
ini membicarakan kepergian. Ah, sepertinya kaumengerti maksudku, kau
benar-benar tak melanjutkan ceritamu, kau hanya senyum kecil padaku, dengan
maksud mengatakan itulah dirimu.
Aku tahu, sebentar lagi orangtuamu akan
menghubungimu. Hanya untuk sekadar menanyakan apakah sudah sampai. Tapi, sudah
dua jam kita di sini, panggilan itu tidak ada. Lagi-lagi aku mengerutkan dahi.
Sepertinya kaumengerti maksudku.
“Orangtuaku sudah tahu,” hanya itu
yang kaukatakan, kembali tersenyum kecil. Kaumelanjutkan cerita, bahwa saat di
sini dulunya, kaumenceritakan tentangku. Orang tuamu tak mempermasalahkan,
hanya sekadar memberikan nasihat. Seperti apa, bagaimana dan seharusnya
dijalani. Ah, orang tuamu, sepertinya sedikit mengkhawatirkanmu. Tenang saja,
aku tahu itu. Tahu menghargai, menghormati dan menjaga kehormatanmu.
***
Mata itu membuat aku
terpesona padamu. Semuanya karena matamu, yang menatap mataku, tatapan yang
terlalu dalam. Indah matamu, memperindah hati dan dirimu. Seperti kau hanya
bisa menangis untuk mengobati kesedihanmu, tanpa berkata sedikit pun, di saat
ada yang tak mengenakkanmu. Matamu membawa kedamaian, rasanya damai, damai yang
membawa kenyamanan. Ya, itulah aku telah merasakan kenyamanan karena matamu.
Aku
tak pernah merasakan kenyamanan seperti ini, apa karena dahulunya aku tidak
menetapkan pilihan hati? Aku rasa, memang ini penyebabnya. Dulu, aku tak
menetapkan pilihan hati, yang datang dan pergi bisa silih berganti. Namun,
hanya dalam waktu yang tak cukup lama, karena tidak ada kata serius dalam
diriku. Tapi kau harus tahu, tatapan matamu membuatku menetapkan pilihan hati,
yaitu dirimu. Menetapkan kau dalam hatiku. Semua ini sering aku katakan padamu.
Tapi, kau hanya membalas dengan senyum kecilmu, untuk sekian kalinya aku
bertanya, sampai kapan senyum itu, tetap juga begitu.
Lagi-lagi kita bersua
di sini, bersua karena kauingin pergi lagi. Kepergian kedua ini sudah biasa
bagiku, terbiasa untuk ditinggalkan sesaat. Aku tahu, kau telah menungguku di
sini dalam waktu cukup lama.
“Maaf,
aku terlambat.” Kau tak marah, lalu senyum kecil sambil mulai melangkah, sambil
melihat ke arah tempat duduk yang kosong. Di sana, kita bercerita banyak hal,
tentang kerinduan, kegamangan, dan kegelisahan ketika kau telah pergi. Kau
lebih bersemangat bercerita dari biasanya. Membuatku semakin yakin dengan isi
hatimu. Sambil bercerita, sesekali kau juga melihat ke arah jam dinding yang
terpajang di tempat ini, yang menunjukkan waktu kita bercerita lima belas menit
lagi. Rasanya, waktu begitu cepat berlalu, padahal kita telah meluangkan waktu
dua jam untuk berada di sini.
“Aku
harus pergi.” Aku tersentak mendengarnya, padahal aku tahu kau memang harus
pergi, keinginan dan harapanmu masih ada yang tersisa. Aku hanya diam, dan kau
mulai melangkahkan kaki menuju pintu yang membuatmu menghilang dalam keramaian.
Hanya beberapa langkah, kaumembalikkan badan, dan menghampiriku, dengan tatapan
mata yang indah dan mulai basah. Kenapa kau harus menahan air mata itu? Aku
berharap air matamu itu mengalir dengan sendirinya. Tapi, kaumencoba untuk
tegar, tegar setegarnya.
“Aku
harus pergi.” Untuk kedua kalinya kaukatakan, lalu kaumulai melangkahkan kaki.
Masih beberapa langkah, kau kembali membalikkan badan dan menghampiriku.
Tatapanmu matamu masih indah, masih tajam, menusuk jauh ke dalam hatiku.
“Kau berlama berdiri di sini, hanya
untuk menatap mataku,” kau kembali senyum kecil ketika aku katakan itu, padahal
kau memang harus pergi. Tatapan matamu menandakan kau tak ingin meninggalkanku.
Sepertinya kau mulai agak menyesali kenyataan ini. Kita memang harus berjauhan,
sebenarnya aku memang tidak ingin seperti ini. Tapi aku terlanjur mengenalmu.
“Aku harus pergi.”
“Pergilah.”
Kau mulai melangkahkan kaki, tak lagi membalikkan badan, dan terus berjalan
lurus, akhirnya dihilangkan oleh keramaian. Aku tahu, kaumemintaku untuk
menyuruh pergi. Tapi, kau terlalu memaksaku, aku tak menginginkan itu. Ya …
inilah kenyataannya, kenyataan yang harus kita jalani, bersua lalu pergi. Aku
tak tahu entah sampai kapan seperti ini. Aku belum bisa membatasi berapa kali
kita harus bersua lalu pergi.
***
10 Juni
Mata itu masih indah,
indah bagiku, itu pendapatku, bagaimana pendapatmu?
“Mataku
memang indah.” Aku mendengar jawaban, atas pertanyaanku selama ini, yang telah
lama kutanyakan, lalu kaubalas dengan senyum mengembang, bukan senyum kecil
lagi. Ini bukan dirimu yang kukenal, ke mana dirimu dengan senyum kecil itu?
Lagi-lagi senyum kaumengembang. Kaumulai melenyap, melenyap, dan melenyap. Tak
kembali. ***
INS
Kayutanam, 21 Mei 2014