Mata Terakhir

Selasa, Juli 28, 2009
Ilustrasi (Sumber: https://pbs.twimg.com)
Mata itu, lagi-lagi mata itu yang kuingat. Tatapannya tajam, mengarah dan dalam, serta menyejukkan. Tatapan yang memperlihatkan ketulusan. Ketulusan bahwa kauberusaha untuk hadir di sini. Tatapanmu begitu tenang, hingga mampu menenangkan diriku. Menenangkan diriku, bahwa yang kita butuh hanya satu, satu kenyamanan. Ya, semuanya berawal dari tatapan, tatapan yang menggetarkan hati ini, hatiku bergetar dan berdesir oleh ulahmu.
Bahagian matamu yang hitam, dikelilingi warna putih bersih. Seputih salju di saat musim dingin, sehingga tak terlihat noda hitam olehku. Seandainya aku menatapmu lebih dekat. Tapi, saat ini aku tidak berani melakukan itu. Matamu tidaklah sipit maupun bulat, menurutku antara keduanya. Dengan bulu mata yang tipis dan panjang yang melentik bagaikan aur, dihiasi dengan alis bagaikan semut berleret, membuat matamu makin indah. Matamu memang indah, itu pendapatku, bagaimana pendapatmu? Ah, kau hanya tersenyum kecil, ketika kutanya itu. Lupakan saja, yang jelas kau telah berada di sini, semenjak bulan lalu aku mengenalmu.
            “Matamu akan menjadi ceritaku, mungkin juga akan menjadi ceritamu, aku berandai seperti itu.” Ah, lagi-lagi kau tersenyum kecil. Mata yang indah, diiringi senyum kecil semakin memperindah rona wajahmu. Itu pendapatku, bukan pendapatmu, aku tak ingin kaumenanggapi itu.
***
            Aku menjemput perandaianku, matamu telah menjadi ceritaku. Ini malam, malam yang membuat aku ingin menatap matamu. Ah, mata itu. Mata yang terlalu dalam menatapku, yang mulai menembus mata hatiku. Tunggu, jangan tersenyum dulu, sebab matamu belum sepenuhnya menembus  hatiku, dan aku juga tak ingin kautahu, bahwa aku telah menjemput perandaianku, biar kautahu, seiringan berjalannya waktu. Ah, aku tersipu malu, kalau masih ingat matamu itu.
Tapi, kau tak lagi di sini, kau telah pergi, pergi untuk beberapa waktu. Ya … tentu aku menghampirimu sebelum kaupergi. Lagi-lagi mata itu. Aku masih ingat itu, masih dengan mata dan tatapan yang sama. Tapi, tatapanmu mengisyaratkan kerinduan untuk beberapa waktu. Langkahmu berat, seberat bulan yang mulai enggan meninggalkan malam. Aku masih ingat itu, ingat akan dirimu, tak hentinya menoleh kepadaku, karena kau telah mulai melangkahkan kaki untuk meninggalkanku. Dari kejauhan aku masih menyempatkan untuk melihatmu, hingga kauhilang ditelan keramaian itu. Rasanya senyap, sunyi dan membisu. Aku tak menyadari itu, hanya aku yang ada di sini. Kau ke mana? Ah, kenapa aku harus bertanya, padahal kau telah katakan, bahwa kau akan pergi.
“Pergilah, kau memang harus pergi, jemput impianmu.” Lagi-lagi kau hanya senyum kecil. Senyum kecil yang tak berubah sedikit pun. Tapi aku tahu hatimu. Aku masih ingat itu, saat bersua denganmu beberapa waktu yang lalu, cukup susah untuk kaulakukan itu. Karena kau masih milik orang tuamu. Kau harus tahu, dan sangat harus tahu. Alasan yang telah kaujelaskan, membuatku ingin lebih jauh mengenalmu.
Ah, kau mulai jadi impianku. Impian untuk selalu menatap matamu. Banyak hal yang kauceritakan tentang dirimu. Kaumenceritakan, bahwa kau bukan perempuan yang mudah merengek. Semuanya, terlebih dahulu kaukerjakan sebisamu. Tidak meminta ini dan itu, dan kau tidak terlalu menyandarkan beban hidup kepada kakak-kakakmu, walaupun di sana kakakmu bukan satu. Ya, inilah kemandirian itu. Aku suka itu.
Lagi-lagi mata itu, mata yang semakin lama menjelaskan dirimu, yang menjelaskan kau perempuan yang tak ingin selalu diam, lalu membisu. Kau selalu bercerita ini-itu. Tentang keinginanmu dan harapanmu. Keinginan untuk pergi jauh, karena keinginan dan harapanmu yang aku tahu memang jauh. Ah, lagi-lagi pergi jauh. Aku mulai benci itu.
“Sampai kapan kau tak semakin menjauh.” Lagi-lagi kau hanya tersenyum kecil padaku. Hanya tersenyum kecil. Karena kau memang selalu tersenyum kecil. Saat aku berkata, apa pun itu tentang dirimu. Ah, ternyata dalam pikiranku kau telah memiliki coretan hidup. Kapan kau akan pergi, kapan kau akan kembali, hingga kapan kau akan mengakhiri hidupmu. Lagi-lagi kaumembuatku pilu, di saat kaumengatakan, bahwa kauingin mengakhiri hidupmu lebih dulu dariku. Lagi-lagi kauberniat pergi dariku. Lagi-lagi pergi, lagi-lagi pergi, lalu mati.
Keindahan matamu, menjelaskan isi hatimu. Ya, bagiku matamu indah. Itu pendapatku. Bagaimana pendapatmu? Kau tak perlu jawab itu. Matamu yang indah, dengan rona wajah yang bersih, menjelaskan siapa dirimu. Ah, kau terlalu sering membasuh mukamu. Mungkin tiap waktu. Kau harus tahu, bahwa aku suka itu. Hal ini membuatku terpesona padamu.
***
Ini malam, malam terindah dalam hidupku. Lagi-lagi aku akan bersua denganmu, tapi esok hari. Kesempatan untuk bersua itu, membuatku merancang mimpi tentangmu. Tentang apa yang akan aku lakukan denganmu. Ah, lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum pilu. Membayangkan matamu. Lagi-lagi mata itu, entah sampai kapan, tak hanya mata itu dalam ingatanku.
Dirimu benar-benar memesonaku, membuatku tak mampu dengan cepat masuk ke dalam dunia mimpi, padahal aku tak sabar untuk menunggu pagi. Kenapa mataku tak bisa dipejamkan? Padahal aku harus cepat terlelap, agar bumi ini melenyapkan malam, dan itu memang inginku. Andaikan aku bisa melenyapkan malam ini, menuju pagi, tentu telah aku lakukan. Tapi aku tak bisa. Hanya dengan memejamkan mata, lalu terlelap yang mampu membuat bumi ini melenyapkan malam, dan itu akan aku lakukan. Benar-benar harus aku lakukan.
Esoknya
             Kau harus tahu, aku telah di sini, satu jam yang lalu, aku bawakan makanan kesukaanmu. Aku mencoba mengingat kembali, bahwa di tempat inilah kaupergi meninggalkanku. Tapi, sekarang kau telah kembali, hatiku tersenyum dalam keramaian. Keramaian yang membuatmu belum terlihat olehku. Mungkin setengah jam lagi, pikirku. Ya, memang setengah jam lagi, karena telah setengah jam aku duduk di sini, menunggumu. Aku duduk di kejauhan, jauh dari pintu tempatmu keluar nantinya. Aku tak ingin menunggumu di depan pintu itu, karena tak ingin terlalu dekat menatap matamu. Biarkan saja mata kita bertemu dari kejauhan, dan mulai mendekat, mendekat dan sudah dekat. Ternyata kau telah berada di sampingku.
            Lagi-lagi, kautersenyum kecil. Senyum apa ini? pikirku. Setelah sekian lama tak bersua denganmu. Ah, aku baru sadar, senyum kecil itulah dirimu, dirimu yang sejak pertama kali aku kenal. Aku perhatikan wajahmu, masih wajah yang dulu. Masih sebersih saat pertama kali aku berjumpa denganmu. Tiba-tiba aku mengerutkan dahi, kamu balas dengan senyum kecilmu, yang mengisyaratkan, kalau kaubertanya padaku.
            “Kenapa pipi kirimu ada noda putih?”
            “Ini bukan noda.” Sekilas kaumeraba pipi kirimu, dan mengusapnya. Ternyata kautahu itu, bahwa warna putih di pipimu karena bedak yang tidak merata kauoleskan tadi. Ah, segitukah dirimu? pikirku. Apa semua perempuan seperti ini? Selalu siap dengan penampilan terbaik saat bersua dengan seseorang. Sepertinya, iya. Semua perempuan melakukannya, karena aku tahu setelah kaumelakukannya.
            “Bawaanmu cukup berat.”
            “Iya, karena aku satu bulan di sini,” sambil tersenyum kecil, yang memperlihatkan kelembutanmu. Lagi-lagi aku menatap, menatap matamu terlalu dalam, kau hanya membalasnya dengan senyum kecil. Kemudian kaududuk, di kursi kayu warna kecokelatan, menghadap ke taman yang ada di tempat ini, dan kau tak mempermasalahkan kalau harus berlama-lama di sini. Tanpa kaumenuju rumahmu terlebih dahulu.
            Kau banyak bercerita, bercerita tentang keadaan di sana, keseharianmu, kegiatanmu dan lagi-lagi tak henti bercerita tentang keinginan dan harapanmu. Jangan kaulanjutkan lagi ceritamu itu, kalau kau akan pergi. Aku tak ingin pertemuan ini membicarakan kepergian. Ah, sepertinya kaumengerti maksudku, kau benar-benar tak melanjutkan ceritamu, kau hanya senyum kecil padaku, dengan maksud mengatakan itulah dirimu.
 Aku tahu, sebentar lagi orangtuamu akan menghubungimu. Hanya untuk sekadar menanyakan apakah sudah sampai. Tapi, sudah dua jam kita di sini, panggilan itu tidak ada. Lagi-lagi aku mengerutkan dahi. Sepertinya kaumengerti maksudku.
“Orangtuaku sudah tahu,” hanya itu yang kaukatakan, kembali tersenyum kecil. Kaumelanjutkan cerita, bahwa saat di sini dulunya, kaumenceritakan tentangku. Orang tuamu tak mempermasalahkan, hanya sekadar memberikan nasihat. Seperti apa, bagaimana dan seharusnya dijalani. Ah, orang tuamu, sepertinya sedikit mengkhawatirkanmu. Tenang saja, aku tahu itu. Tahu menghargai, menghormati dan menjaga kehormatanmu.
***
            Mata itu membuat aku terpesona padamu. Semuanya karena matamu, yang menatap mataku, tatapan yang terlalu dalam. Indah matamu, memperindah hati dan dirimu. Seperti kau hanya bisa menangis untuk mengobati kesedihanmu, tanpa berkata sedikit pun, di saat ada yang tak mengenakkanmu. Matamu membawa kedamaian, rasanya damai, damai yang membawa kenyamanan. Ya, itulah aku telah merasakan kenyamanan karena matamu.            
            Aku tak pernah merasakan kenyamanan seperti ini, apa karena dahulunya aku tidak menetapkan pilihan hati? Aku rasa, memang ini penyebabnya. Dulu, aku tak menetapkan pilihan hati, yang datang dan pergi bisa silih berganti. Namun, hanya dalam waktu yang tak cukup lama, karena tidak ada kata serius dalam diriku. Tapi kau harus tahu, tatapan matamu membuatku menetapkan pilihan hati, yaitu dirimu. Menetapkan kau dalam hatiku. Semua ini sering aku katakan padamu. Tapi, kau hanya membalas dengan senyum kecilmu, untuk sekian kalinya aku bertanya, sampai kapan senyum itu, tetap juga begitu.
            Lagi-lagi kita bersua di sini, bersua karena kauingin pergi lagi. Kepergian kedua ini sudah biasa bagiku, terbiasa untuk ditinggalkan sesaat. Aku tahu, kau telah menungguku di sini dalam waktu cukup lama.
            “Maaf, aku terlambat.” Kau tak marah, lalu senyum kecil sambil mulai melangkah, sambil melihat ke arah tempat duduk yang kosong. Di sana, kita bercerita banyak hal, tentang kerinduan, kegamangan, dan kegelisahan ketika kau telah pergi. Kau lebih bersemangat bercerita dari biasanya. Membuatku semakin yakin dengan isi hatimu. Sambil bercerita, sesekali kau juga melihat ke arah jam dinding yang terpajang di tempat ini, yang menunjukkan waktu kita bercerita lima belas menit lagi. Rasanya, waktu begitu cepat berlalu, padahal kita telah meluangkan waktu dua jam untuk berada di sini.
            “Aku harus pergi.” Aku tersentak mendengarnya, padahal aku tahu kau memang harus pergi, keinginan dan harapanmu masih ada yang tersisa. Aku hanya diam, dan kau mulai melangkahkan kaki menuju pintu yang membuatmu menghilang dalam keramaian. Hanya beberapa langkah, kaumembalikkan badan, dan menghampiriku, dengan tatapan mata yang indah dan mulai basah. Kenapa kau harus menahan air mata itu? Aku berharap air matamu itu mengalir dengan sendirinya. Tapi, kaumencoba untuk tegar, tegar setegarnya.
            “Aku harus pergi.” Untuk kedua kalinya kaukatakan, lalu kaumulai melangkahkan kaki. Masih beberapa langkah, kau kembali membalikkan badan dan menghampiriku. Tatapanmu matamu masih indah, masih tajam, menusuk jauh ke dalam hatiku.
“Kau berlama berdiri di sini, hanya untuk menatap mataku,” kau kembali senyum kecil ketika aku katakan itu, padahal kau memang harus pergi. Tatapan matamu menandakan kau tak ingin meninggalkanku. Sepertinya kau mulai agak menyesali kenyataan ini. Kita memang harus berjauhan, sebenarnya aku memang tidak ingin seperti ini. Tapi aku terlanjur mengenalmu.
            “Aku harus pergi.”
            “Pergilah.” Kau mulai melangkahkan kaki, tak lagi membalikkan badan, dan terus berjalan lurus, akhirnya dihilangkan oleh keramaian. Aku tahu, kaumemintaku untuk menyuruh pergi. Tapi, kau terlalu memaksaku, aku tak menginginkan itu. Ya … inilah kenyataannya, kenyataan yang harus kita jalani, bersua lalu pergi. Aku tak tahu entah sampai kapan seperti ini. Aku belum bisa membatasi berapa kali kita harus bersua lalu pergi.
***
10 Juni           
            Mata itu masih indah, indah bagiku, itu pendapatku, bagaimana pendapatmu?
            “Mataku memang indah.” Aku mendengar jawaban, atas pertanyaanku selama ini, yang telah lama kutanyakan, lalu kaubalas dengan senyum mengembang, bukan senyum kecil lagi. Ini bukan dirimu yang kukenal, ke mana dirimu dengan senyum kecil itu? Lagi-lagi senyum kaumengembang. Kaumulai melenyap, melenyap, dan melenyap. Tak kembali. ***

INS Kayutanam, 21 Mei 2014
Diberdayakan oleh Blogger.